Selamat mencari

Sabtu

Mbah Surip

HIDUP SEDERHANA DI PUNCAK POPULARITAS

Seniman dengan nama asli Urip Achmad Ariyanto ini, dikenal dengan panggilan Mbah Surip. Lahir di Mojokerto, 5 Mei 1949. Dia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari almarhum pasangan Sukoco dan Rasminah. Dia dikenal dengan pribadinya yang lugu, lucu, bersahabat, dan dandanannya yang khas dengan rambut panjang gimbal dan aksesoris ala penyanyi reggeae.
Semasa kecil, Mbah Surip hidup dengan ekonomi pas-pasan, seusai sekolah dia membantu ibunya, Rasmini berjualan tahu di Alun – alun Mojokerto. Uang hasil penjualan tahu itu dikumpulkan untuk membiayai SPP dan uang sakunya. Walau dia harus membantu orang tuanya mencari nafkah, dia tetap terlihat ceria, tidak terlihat wajah sedih sedikitpun. Dia dikenal betah hidup di jalanan, baik bersama pengamen maupun musisi jalanan. Dia juga pernah bekerja sebagai makelar karcis gedung bioskop pada 1970.
Kehidupan Mbah Surip terbilang sangat sederhana , selama menjadi seniman di Jakarta, dia adalah seorang yang nomaden ( tidak memiliki tempat tinggal yang tetap). Dia menumpang dari rumah temannya ke rumah temannya yang lain. Walaupun dia hidup secara nomaden, dia tidak pernah meminta – minta. Utuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, dia sering menyanyi di Taman Ria Ancol.
Melalui iklan RBT salah satu provider selular di Indonesia, lagu mbah Surip Tak Gendong mulai dikenal masyarakat. Dengan lirik lagunya yang unik, pamor Mbah Surip makin bersinar. Tawaran untuk mengisi acara di berbagai acara terus mengalir, hampir tidak ada tawaran yang ditolaknya.
Selain lagu – lagu Mbah Surip , Tak Gendong dan Bangun Tidur yang menjadi hits di tahun 2009, dia juga pernah membuat album yang berjudul : Ijo Royo - Royo (1997), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan Barang Baru ( 2004) . Lagu –lagunya yang sekilas terdengar seperti lagu yang asal dan tidak bermakna, ternyata memiliki makna yang cukup dalam. Pada lagu Tak Gendong memiliki makna yang kurang lebih seperti ini : “ Kita sesama manusia harus saling tolong – menolong, jika ada salah satu manusia yang terluka , kita wajib menggendongnya ( menolong )”.
Popularitas yang mendadak didapatnya, tidak membuat Mbah Surip berubah, dia tetap saja pribadi yang bersahaja dan sederhana. Di sela-sela jadwal manggung yang padat, dia masih sempat pulang ke kontrakkannya yang sederhana. Bahkan, dia meminta untuk dimakamkan di lahan kosong di bawah pohon jengkol yang terletak di Bengkel Teater milik W.S.Rendra. Dia jatuh cinta pada lokasi itu ketika bertandang ke komplek kediaman W.S.Rendra.
Kebiasaannya menghisap rokok dan minum kopi, jarang dan hampir tidak pernah terlihat dia minum air putih, membuat kondisi kesehatannya terus menurun. Jadwal kerjanya yang sangat padat tidak diimbangi dengan menejemen waktu yang tepat menambah beban bagi tubuhnya yang sudah menginjak usia 60 tahun itu.
Pada 4 Agustus 2009, karena serangan jantung Mbah Surip menutup usianya setelah dibawa ke RS Pusdikkes TNI –AD Kramat Jati , Jakarta Timur. Pada akhirnya , pada pukul 22.45, dia dimakamkan di Bengkel Teater atau Kediaman milik W.S.Rendra sesuai keinginannya.

Inspirasi kita…

Hidup dalam kesederhanaan semenjak kecil terus dibawanya hingga ujung usia. Walaupun tengah tenar, dia tetap hidup apa adanya dan jauh dari kesan mewah. Hidup sederhana walaupun kaya raya patut kita contoh.


0 komentar:

Posting Komentar