Selamat mencari

Sabtu

W.S. Rendra

Si Burung Merak yang Romantis dan Kritis

Willibrordus Surendra Broto Rendra, biasa dipanggil dengan W.S.Rendra. Seorang kelahiran Solo, Jawa Tengah , 7 November 1935 yang sudah memulai pemberontakkannya semenjak usia SD. Ayahnya, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo merupakan penganut Katolik Roma yang cenderung otoriter. Rendra yang semenjak kecil sudah berpetualang dengan imajinasinya selalu dihalangi ayahnya karena cerita-ceritanya yang tidak rasional. Namun ibunya, Raden Ayu Cathrina Ismadillah, sungguh pengertian dan mengajarinya meditasi untuk meredam imajinasinya yang terlalu kuat.
Perseteruan dengan ayahnya kembali meletus setelah dia memutuskan untuk menjadi penyair dan meninggalkan cita-citanya untuk menjadi Jendral pada masa SMA-nya. Ayahnya yang marah membuatnya diskors selama 2 tahun dari sekolahnya. Namun 2 tahun skorsingnya dimanfaatkan untuk menulis sebuah naskah drama yang berjudul Orang - Orang di Tikungan Jalan . Naskah ini mendapatkan penghargaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Selulusnya SMA, dia mendalami sastra Barat di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan menghasilkan dua Antologi, Ballada Orang-orang Tercinta (1957) dan Empat Kumpulan Sajak ( 1961).
Pada masa muda,Rendra bisa disebut petualang cinta. Dengan tutur katanya yang lembut ditambah keahliannya di bidang sastra, mengantarkannya kepada jalinan cinta pertamanya pada kelas 1 SMP dengan anak kelas 3 SMP. Selama masa itu dia sudah berkali – kali bermain cinta. Hingga dia menemukan cinta sejatinya pada diri Sunarti Suwandi pada usianya yang ke 24, yang kemudian dinikahinya pada 31 Maret 1959.
Selulusnya dari Universitas Gajah Mada, Rendra mendalami seni drama di American Academy of Dramatical Arts, New York, selama empat tahun. Seusai studinya, dia kembali ke tanah air dan membangun Bengkel Teater di Yogyakarta dan Bekasi. Bengkel ini menjadi surga bagi para seniman, maupun para pemuda pencinta seni. Salah satu muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat,putri seorang bangsawan dari Keraton Yogyakarta. Rendra biasa memanggilnya Jeng Sito.
Pada akhirnya, Rendra meminang Sito yang seorang muslim. Hal ini ditentang olah ayah Sito, karena dia tidak ingin anaknya menikah dengan pemuda Katolik. Namun itu bukanlah halangan bagi dirinya, dia memilih untuk mengucapkan 2 kalimat syahadat di hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970.
Keputusan Rendra untuk menjadi seorang Mualaf , mendapatkan berbagai reaksi dari banyak pihak. Seperti pendapat di masuk Islam hanya untuk diperbolehkan berpoligami. Tudingan itu tidak dianggap serius oleh nya. Dia sebenarnya sudah tertarik kepada Islam sejak lama, dan Islam menjawab persoalan yang selama ini menghantuinya : kemerdekaan individual sepenuhnya.
Tudingan lain yang menyebutkan tentang kehidupannya yang poligami pada satu atap hanyalah untuk meningkatkan popularitasnya saja. Sehingga julukan si Burung Merak menjadi memilki makna ganda : bijaksana dan gagah maupun suka cari perhatian. Tapi lagi- lagi tudingan itu disambut ringan olehnya.
Pada masa 1970-an, karakter sastra Rendra beralih dari yang semula romantis dan lembut menjadi galak dan berani dalam menggambarkan titik – titik kehidupan. Karena pada masa itu kebebasan berbicara dibatasi, tetapi Rendra tetap vokal dalam mengkritik kalangan-kalangan elit pada masa itu. Aksinya ini tentu membuat elit politik geram dan berbuntut pencekalannya di Yogyakarta.
Kehidupan berkeluarganya mulai pecah semenjak dia menikah dengan istri ketiganya, Ken Zuraida. Semenjak lahirnya Maryam, anak kedua Rendra dengan Ken Zuraida, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979,dan disusul Sunarti tidak lama kemudian.
Pada Kamis 6 Agustus 2009, Rendra menutup usianya di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading Jakarta Utara. Ia meninggal karena menderita penyakit jantung koroner. Dimakamkan Jumat 7 Agustus 2009 di Tempat Pemakan Umum Bengkel Teater. Tidak jauh dari makam Mbah Surip, seniman yang meninggal beberapa hari lebih cepat darinya.
Sumber : Majalah Berita Mingguan GATRA

Inspirasi kita…

Pengekangan – pengekangan yang dialami W.S.Rendra semasa kecilnya membangkitkan jiwa pemberontak dalam dirinya yang memacu dirinya untuk lebih berkarya dan membuktikan kalau impian yang ingin diraihnya adalah masa depan yang terbaik.


0 komentar:

Posting Komentar